Bulan Ramadhan menjadi bulan suci untuk umat islam. Orang-orang berlomba-lomba menjalankan ibadah salah satu ibadah wajibnya yaitu puasa. Ketika puasa kita dituntut untuk tidak makan dan minum dari sebelum terbit matahari hingga tenggelamnya matahari. Puasa ini dilakukan selama 1 bulan lamanya. Kondisi tersebut membuat pola makan kita menjadi berubah. Selain itu, puasa dalam waktu tertentu juga disebut dengan intermitten. Saat puasa tubuh kita akan mencoba beradaptasi dengan sendirinya, seperti halnya saat tubuh kita tidak ada sumber makanan yang masuk ke pencernaan dari pagi hingga sore hari, cadangan makanan dalam bentuk lemak akan dibongkar untuk kemudian dijadikan tenaga (katabolisme). Efek lainnya akan terjadi peningkatan sensitifitas insulin dan daya tahan tubuh terhadap stress juga akan meningkat. Namun bagaimana jadinya ketika penderita maag dan gerd menjalankan puasa? apakah bisa?
Pada penderita maag justru dianjurkan untuk tetap berpuasa. Namun jika ragu, kamu bisa konsultasi dengan dokter terlebih dahulu. Terdapat penelitian tahun 2016 menyatakan bahwa Puasa Ramadhan memiliki gejala GERD menjadi berkurang selama bulan puasa dibandingkan bulan biasanya. Kenapa hal tersebut bisa terjadi? Pada dasarnya gerd dan maag bisa timbul karena pola makan tidak teratur (telat makan atau keseringan makan). Namun pada saat puasa pola makan menjadi lebih teratur dan terjadwal pada saat sahur dan berbuka. Adapun frekuensi orang merokok dan konsumsi alkohol saat puasa menjadi berkurang menjadikan gejala gerd dan maag-pun ikut berkurang. Jadi tak perlu khawatir jika memiliki riwayat maag dan gerd tapi tetap ingin puasa. Ini dia tips lambung aman agar puasa lebih nyaman:
1. Usahakan makan tepat waktu
Hal yang terpenting saat puasa adalah usahakan untuk selalu makan sahur. Jangan sampai melewatkan makan sahur karena untuk memberikan cadangan energi saat berpuasa, menjaga stamina dan kesehatan tubuh. Selain itu, usahakan sahur di akhir waktu. Bukan tanpa alasan, sahur di akhir waktu termasuk sunnah Rasul dan juga dapat membuat tubuh masih menyimpan cadangan makanan yang cukup digunakan beraktivitas seharian.
Begitu juga saat berbuka, usahakan menyegerakan berbuka karena agar asupan kalori dan cairan tubuh segera kembali. Jika cairan tubuh sudah sangat berkurang akan memicu peningkatan asam lambung. Oleh karena itu, untuk mencegahnya kamu perlu menyegerakan berbuka.
2. Hindari tidur setelah makan
Saat setelah makan sahur rasanya kita selalu berperang dengan rasa kantuk. Jika langsung tidur akan membuat makanan tidak bisa dicerna secara sempurna di lambung. Efeknya makanan akan berbalik dari lambung ke kerongkongan. Asam lambung juga naik dan melukai kerongkongan sehingga menimbulkan nyeri di ulu hati, rasa panas dan terbakar. Jadi beri jeda sekitar 3 jam jika ingin tidur atau kamu bisa melakukan aktivitas lainnya agar rasa kantukmu hilang.
3. Atur porsi makanan
Saat berbuka puasa tak jarang banyak orang cenderung rakus untuk memakan makanan dengan banyak dan lahapnya. Justru jika saat buka makan makanan berat dan berlebih akan membuat kerja lambung ekstra bekerja keras dan tidak optimal. Padahal saat kita berpuasa perut kita kosong dalam jangka waktu yang cukup lama sehingga perlu waktu untuk lambung bekerja kembali. Sebaiknya ketika berbuka konsumsi kudapan dan minuman secukupnya untuk mengembalikan cairan tubuh dan asupan kalori sementara waktu sembari merangsang kinerja enzim pencernaan secara bertahap.
Baca Juga: Start To Eat The Rainbow
4. Hindari makanan pemicu Maag dan Gerd
Saat puasa akan sangat banyak sekali menu makanan yang dijual tak seperti biasanya, mulai dari takjil/kudapan, gorengan, macam es hingga aneka menu makanan berat. Terutama hindari konsumsi makanan dengan lemak yang tinggi seperti jeroan, daging, gorengan dan santan akan memperberat cara kerja lambung sehingga puasa jadi tidak nyaman.
Adapun hindari makan pedas saat berbuka, makanan pedas dari cabai akan menghasilkan senyawa capsaicin yang merangsang sensasi panas pada lambung dan jika parah akan menimbulkan iritasi.
5. Makan makanan kaya prebiotik dan probiotik
Prebiotik merupakan suatu bahan pangan yang digunakan yang baik untuk sistem pencernaan atau singkatnya merupakan makanan untuk probiotik (bakteri baik). Prebiotik biasanya berupa serat pangan yang ada di bahan pangan, kamu bisa menemukannya pada berbagai jenis sayuran, buah-buahan dan kacang-kacangan.
Adapun probiotik adalah suatu mikroorganisme yang bermanfaat untuk melancarkan sistem pencernaan. Dengan konsumsi prebiotik dan probiotik dapat membantu mengefisiensi proses pencernaan dan proses pengosongan lambung lebih cepat karena mikroflora pada sistem pencernaan seimbang. Seperti halnya pada kasus penyakit maag biasanya juga disebabkan oleh bakteri Helicobater pylori. Jika bakteri baik dalam sistem pencernaan banyak tentunya dapat melawan bakteri jahat atau bakteri patogen (penyebab penyakit). Oleh karena itu penting sekali untuk konsumsi prebiotik dan probiotik saat puasa agar mencegah timbulnya penyakit maag.
Baca Juga: Manfaat Probiotik Untuk Kesehatan Anak
Itulah serangkaian tips agar lambung aman dan puasa kamu jadi nyaman. Kamu bisa konsumsi probiotik salah satunya dengan rutin konsumsi cuka. Namun pastikan cuka yang kamu konsumsi terdapat “mother” atau inang cuka yang berupa probiotik / bakteri baik yang ditandai dengan adanya endapan keruh didalamnya.
Untuk informasi lebih lanjut hubungi :
WA : 08113692868
IG : @Dehealth_Supplies
Source:
De Cabo, R. and Mattson, M.P., 2019. Effects of intermittent fasting on health, aging, and disease. New England Journal of Medicine, 381(26), pp.2541-2551.
Firmansyah, M.A., 2015. Pengaruh Puasa Ramadhan pada Beberapa Kondisi Kesehatan. Cermin Dunia Kedokteran, 42(7), pp.510-515.
Mardhiyah, R., Makmun, D., Syam, A.F. and Setiati, S., 2016. The effects of Ramadhan fasting on clinical symptoms in patients with gastroesophageal reflux disease. Acta Med Indones, 48(3), pp.169-74.
Pan, J., Cen, L., Chen, W., Yu, C., Li, Y. and Shen, Z., 2019. Alcohol consumption and the risk of gastroesophageal reflux disease: a systematic review and meta-analysis. Alcohol and Alcoholism, 54(1), pp.62-69.
Roky, R., Houti, I., Moussamih, S., Qotbi, S. and Aadil, N., 2004. Physiological and chronobiological changes during Ramadan intermittent fasting. Annals of nutrition and metabolism, 48(4), pp.296-303.
Seifi, N., Hashemi, M., Safarian, M., Hadi, V. and Raeisi, M., 2017. Effects of Ramadan Fasting on Common Upper Gastrointestinal Disorders; A Review of the Literature. Journal of Fasting & Health, 5(1).